Saturday, April 16, 2016

Pedagang di pasar berhenti berniaga untuk mendirikan solat

Pada masa sekarang ini banyak orang yang sibuk berdagang sehingga mengabaikan solat, sibuk bekerja sampai meninggalkan kewajiban agama. Mereka sibuk dengan dunia, lupa dengan akhirat, akhirnya akhirat lepas dari tangannya, sementara dunianya belum tentu memberikan kebahagiaan.

Keadaannya sungguh berbeda dengan para pedagang di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti yang disaksikan oleh para sahabat Nabi.

Pernah suatu kali Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu mengunjungi pasar. Ketika datang waktu solat dan terdengar azan memanggil, para pedagang menutup kedai-kedai mereka dan berangkat ke masjid untuk menunaikan solat. Ibn Umar pun bergumam, “Inilah orang-orang yang Allah berkata tentang mereka:

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS al-Nur [24]: 37)

Mereka tidak khawatir ada pembeli yang datang saat mereka solat. Mereka tidak merasa tanggung dalam pekerjaannya sehingga memutuskan untuk menunda sujud kepada Tuhannya. Mereka mendahulukan apa yang memang seharusnya didahulukan. Semoga kita pun begitu.


Sumber: Moulana Muhammad Zakariyya, Stories of the  Sahaabah (Hikayatus Sahabah)

Monday, March 21, 2016

Ibn Abbas memilih solat daripada kesehatan matanya

Berobat itu baik dan perlu. Namun ada orang-orang yang memandang taqarrub ilallah (mendekatkan diri pada Allah) sebagai sebaik-baik obat. Ini tidak selalu berkenaan dengan kesehatan fisik, tetapi  lebih berkaitan dengan kesehatan spiritual dan kebahagiaan yang ditimbulkan olehnya.

Seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, mengalami masalah mata yang serius di hari tuanya. Seorang dokter didatangkan kepadanya. “Ini bisa disembuhkan, tetapi Anda perlu menjalani pantangan,” ujar dokter itu, “Anda harus menghindari sujud ke lantai selama lima hari. Tetapi Anda bisa menggunakan sebuah meja kayu untuk melaksanakan solat.”

“Itu tidak mungkin,” ujar Ibn Abbas. “Saya tak akan melakukan satu rakaat pun dengan cara seperti itu. Saya mendengar Nabi bersabda, ‘Seseorang yang dengan sengaja meninggalkan solat, walaupun hanya satu kali saja, akan menghadapi kemurkaan Allah pada Hari Kiamat.’”

Sebenarnya, ini bukan masalah halal atau haram karena Islam memberi keringanan dalam hal-hal tertentu seperti sakit. Ini adalah masalah mencari keutamaan di sisi Allah. Ibn Abbas lebih suka kehilangan penglihatan di akhir hidupnya daripada mengubah cara sujudnya walaupun hanya beberapa hari saja.

Karena, mata yang selama ini telah membolehkannya melihat tidak lebih ia cintai daripada Tuhan yang telah menganugerahkan kepadanya penglihatan itu. Dan apa yang diberi oleh-Nya tidak lebih dicintai daripada apa yang diambil oleh-Nya, selama semua itu berada dalam keridhaan-Nya.


Sumber: Moulana Muhammad Zakariyya, Stories of the  Sahaabah (Hikayatus Sahabah)

Friday, March 18, 2016

Keluhan kaum Anshar dan jawaban Nabi

Kaum Anshar merasa kecewa terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tak kecewa, sudah bertahun-tahun mereka membela Nabi, mengorbankan harta dan nyawa, tapi kini Nabi seperti melupakan mereka. 

Pampasan perang yang banyak dan baru saja didapatkan dari Perang Hunain dibagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang Makkah dan beberapa tokoh kabilah yang baru masuk Islam, demi menarik hati mereka pada Islam. Kaum Anshar tak mendapatkan apa-apa atau hanya mendapatkan sedikit bagian. Sehingga ada di antara mereka yang berkata, “Demi Allah! Rasulullah telah bergabung kembali dengan kaumnya (penduduk Quraisy Makkah, pen).” Atau ada ada pula yang mengatakan, “Kita diseru di waktu susah, tetapi pampasan perang diberikan pada orang lain.”

Mereka salah paham terhadap maksud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Ucapan mereka ini sampai ke telinga Nabi. Maka Nabi pun meminta orang-orang Anshar berkumpul. Ketika mereka semua sudah berhimpun di satu tempat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai saudaraku kaum Anshar! Ketika saya datang kepada kalian, bukankah kalian dalam keadaan sesat, dan kemudian Allah memberi petunjuk pada kalian? Bukankah kalian dalam keadaan miskin dan kemudian Allah menjadikan kalian kaya? Bukankah kalian bermusuh-musuhan dan kemudian Allah menyatukan hati-hati kalian?”

“Benar,” jawab orang-orang Anshar.

“Wahai kaum Anshar! Mengapa kalian tidak menjawab?” tanya Rasulullah.

“Apa yang dapat kami katakan, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Jawaban apa yang harus kami berikan? Hanya Allah dan Rasul-Nya yang memiliki karunia dan keutamaan.”

“Demi Allah!” kata Rasulullah, “Kalian menyatakan kebenaran dan kalian akan dipercaya jika kalian berkata pada saya, ‘Anda datang sebagai orang yang terusir dan kami memberi Anda tempat tinggal. Anda datang sebagai orang miskin dan kami memberi Anda bantuan keuangan. Anda datang dalam keadaan takut dan kami memberi Anda keamanan. Anda datang tanpa penolong dan kami memberi Anda bantuan yang diperlukan.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian melanjutkan, “Wahai kaum Anshar! Apakah kalian merasa sedih disebabkan beberapa sampah duniawi yang saya berikan kepada beberapa orang yang baru masuk Islam demi menarik hati mereka, sementara saya meninggalkan untuk kalian kelimpahan Islam yang telah Allah anugerahkan untuk kalian? Wahai kaum Anshar! Apakah kalian tidak merasa puas mengetahui orang lain kembali ke rumahnya dengan membawa kambing dan unta, sementara kalian pulang dengan membawa Rasulullah? Saya bersumpah dengan Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika orang-orang berjalan di satu lembah dan orang-orang Anshar berjalan di lembah yang lainnya, maka saya akan berjalan di lembah yang dilalui orang-orang Anshar. Kalau sekiranya bukan disebabkan hijrah, saya akan menjadi bagian dari orang-orang Anshar. Ya Allah! Limpahkanlah rahmat-Mu ke atas orang-orang Anshar, ke atas anak-anak Anshar, ke atas cucu-cucu kaum Anshar.”

Orang-orang Anshar menangis mendengar kata-kata Rasulullah itu. Bagaimana mereka tak akan menangis, sementara orang yang membaca kisahnya hari ini pun menangis. Orang-orang Anshar menangis hingga janggut mereka basah oleh air mata. “Kami ridha Allah sebagai Rabb kami dan kami ridha dengan pembagian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Begitu pula kami ridha Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai Nabi, dan Islam sebagai agama kami.


Sumber: Maulana Muhammad Yusuf Kandhlawi, Hayatus Sahabah (The Lives of Sahabah).

Monday, March 14, 2016

Kisah Dimad masuk Islam

Tutur kata bisa menghunjam ke dalam jiwa, menyebabkan perubahan pada manusia. Terlebih jika itu keluar dari perkataan ilahiah serta lisan kenabian.

Seperti yang pernah terjadi pada Dimad, seorang dukun dari Bani Azd Syanu’a yang biasa mengobati orang yang kena sihir dengan bantuan jin. Pada suatu hari ia datang ke kota Makkah dan ia mendengar dari orang-orang bodoh di kota itu bahwa Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah gila.

Ia pun berhasrat untuk menemui lelaki yang dikatakan gila itu, atau mungkin telah terkena sihir. Ia ingin menawarkan bantuan untuk menyembuhkannya. Saat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia pun berkata kepadanya, “Saya biasa menyembuhkan orang yang terkena sihir dan Allah akan menyembuhkan siapa yang Dia kehendaki melalui tangan saya, marilah ke sini (untuk saya sembuhkan).”

Rasulullah pun bersabda kepadanya, “Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, dan kami minta pertolongan kepada-Nya, barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tiada sesiapa yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tiada sesiapa yang dapat memberinya petunjuk, saya bersaksi bahwa tidak ada yang boleh disembah melainkan Allah, Yang Esa, dan tiada sekutu baginya (Innal hamda lillah nahmaduhu wa nasta’inuhu, man yahdihillah fala mudhillalah, wa man yudhlil fala hadiyalah, asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarikalah – beliau mengucapkannya tiga kali).”

Dimad tertegun. “Demi Allah! Saya telah mendengar perkataan tukang tenung, perkataan tukang sihir, dan perkataan para penyair, tetapi saya belum pernah mendengar kalimat semisal yang saya dengar ini. Kemarikanlah tangan Anda untuk saya baiat atas Islam.”

Maka ia pun berbaiat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan masuk Islam. Kemudian Rasulullah bersabda, “Dan atas kaum kamu juga?”

“Dan atas kaum saya juga,” jawab Dimad.

Perkataan mana lagi yang lebih baik daripada yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Sumbernya tinggi, lafaznya padat dan mengena di hati, kandungannya tak perlu diragukan lagi. Tapi tak akan mendapatkan manfaat darinya, kecuali sesiapa yang mau membuka pikiran dan jiwa untuk Tuhannya.

Sumber: Imam Bayhaqi, Dala’il al-Nubuwah, jil 2. Kisah ini terdapat juga dalam Sahih Muslim dengan redaksi yang sedikit berbeda.

Friday, March 11, 2016

Penduduk Yaman datang membantu Abu Bakar al-Shiddiq

Selepas terjadinya perang Riddah di Yaman, Abu Bakar al-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, Khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyiapkan pasukan untuk diberangkatkan ke Syam (Suriah-Palestina) untuk menghadapi tentara Romawi (Byzantium).

Abu Bakar mengutus Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ke Yaman untuk mengajak mereka menyertai ekspedisi ini. Anas kembali ke Madinah beberapa waktu kemudian, membawa kabar gembira tentang kesiapan orang-orang Yaman untuk menyertai pasukan. “Siapa saja yang saya bacakan seruan, langsung mentaati Allah dan menerima seruan Anda itu,” ujar Anas.

Tak lama setelah itu, pasukan dari Yaman datang dalam beberapa kelompok yang besar. Abu Bakar dan penduduk Madinah menyambut mereka di luar kota Madinah. Satu persatu kepala kabilah dari Yaman maju ke hadapan memberi penghormatan kepada Khalifah dan menyatakan kesiapan untuk berangkat ke Syam. Salah satu yang maju ke depan adalah Dzul Kala’, pemimpin Bani Himyar. Ia membaca sebuah syair yang antara lain berbunyi:

Tentara kami telah datang dan Imperium Romawi dalam penglihatan kami
Suriah akan menjadi rumah bagi kekuatan kami

Abu Bakar tersenyum mendengarnya, kemudian berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang ada di sebelahnya, “Wahai Abul Hasan, tidakkah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Saat Bani Himyar datang dengan kaum perempuan mereka dan membawa anak-anak mereka, maka bergembiralah dengan pertolongan Allah bagi kaum Muslimin terhadap kaum musyrikin.’”

Ali pun berkata, “Engkau berkata benar. Saya memang mendengar Rasulullah berkata demikian.”

Begitulah, Yaman yang beberapa waktu sebelumnya melahirkan nabi-nabi palsu dan menentang Madinah, kemudian mengirimkan putera-putera terbaiknya ke Madinah untuk berangkat dan berjuang di Syam. Syam yang pada hari itu diperangi, kelak penduduknya juga akan berbondong-bondong masuk Islam dan melahirkan banyak ulama hebat.

Akhirnya, sungguh indah doa yang dilantunkan oleh Rasulullah dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di dalam kumpulan haditsnya: “Ya Allah! Berkahilah kami pada Syam kami. Ya Allah! Berkahilah kami pada Yaman kami.”

Kadang hanya masalah waktu yang memisahkan antara suatu negeri dengan kecintaan Nabinya serta keberkahan dari Tuhannya.


Sumber: Al-Waqidi, The Islamic Conquest of Syria (Futuh al-Shams)

Wednesday, March 9, 2016

Salam untuk Khadijah

Istri yang solehah adalah perhiasan dunia untuk seorang suami. Ini bukan soal kecantikan dan kemolekan. Ini tentang keluhuran jiwa dan keindahan budi bahasa. Seorang istri yang baik senantiasa menghibur suaminya di saat duka, mengajaknya bersyukur di saat suka, mendukungnya di saat ia memerlukan pertolongan.

Itu semua ada pada Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha, bahkan lebih lagi. Keturunannya mulia, budi pakertinya tiada dua, dan seorang saudagar pula. Tapi yang lebih dari itu semua, dialah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang pertama, yang memberinya keturunan, ummul mukminin yang mula-mula, serta orang pertama yang beriman pada kerasulannya. Ia membenarkan Nabi ketika banyak orang mendustakannya, menghibur saat orang lain menyakitinya, membela saat orang-orang menghalangi jalannya. Itulah cinta yang setinggi-tingginya, bukan semata terhadap suaminya, tetapi terhadap kebenaran risalah yang dibawanya.

Maka siapa yang tak akan sayang kepada Ummul Qasim. Bahkan Tuhan dan malaikat pun berkirim salam kepadanya. Ini memang sebuah salam yang istimewa untuk seorang perempuan yang istimewa.

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, seperti tercantum di dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Pada suatu ketika Jibril datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, Khadijah sedang berjalan kemari. Ia membawa wadah yang berisi kuah, makanan, atau minuman. Jika ia sampai kepadamu, maka katakanlah bahwa Tuhannya dan aku menyampaikan salam kepadanya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepadanya bahwa ia akan mendapatkan sebuah rumah di dalam surga yang terbuat dari mutiara yang tidak berisik dan tidak melelahkan.”

Masya Allah. Kita akan melonjak gembira saat mendapatkan ucapan salam dari orang yang mulia dan berkedudukan tinggi, bagaimana lagi jika hal itu datang dari Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi?
Semoga di hati kita bersemayam cinta seperti cinta Khadijah. Cinta yang membawa pada kemurnian dan keabadian. Cinta yang membawa kepada Tuhan.


Sumber: Mahmud al-Mishri, 35 Sirah Shahabiyah: 35 Sahabat Wanita Rasulullah saw, jil.1 

Monday, March 7, 2016

Ahad

Tidak ada yang bisa menahan kemerdekaan jiwa manusia ketika dia beriman, walaupun fisiknya tertawan dan statusnya hanya seorang budak. Begitulah yang berlaku pada Bilal bin Rabah, seorang budak Ethiopia milik pembesar musyrik Quraisy bernama Umayyah bin Khalaf al-Jumahy. Dakwah Islam sampai kepadanya dan ia menerimanya secara rahasia. Hingga suatu hari keislamannya diketahui sang majikan.

Umayyah, yang tetap dalam kekafiran hingga kematiannya di Perang Badar beberapa tahun kemudian, tak bisa menerima pilihan budaknya itu. Ia memaksa Bilal untuk kembali ke agama lamanya dan menyiksanya ketika pria berkulit hitam dan bersuara merdu itu menolaknya. Bilal pun mengalami beberapa bentuk siksaan yang menyakitkan.

Lehernya diikat dengan tali, dan atas perintah majikannya itu ia ditarik serta dijadikan mainan oleh anak-anak kecil di lorong-lorong Makkah. Pemuda yang kelak menjadi muadzin Rasulullah itu dibiarkan kelaparan dan didudukkan di tengah terik matahari. Yang terberat dari semua itu, ia dibaringkan di atas tanah Makkah yang panas di siang hari yang terik, kemudian dadanya ditindih dengan batu besar.

“Demi Allah,” ujar Umayyah, majikannya, “engkau akan tetap mengalami keadaan seperti ini sampai mati atau engkau berpaling dari Muhammad dan menyembah Lata dan Uzza.”

Bilal tak terpengaruh. Tubuhnya memang tak berdaya, tetapi jiwanya sudah merdeka. Maka mengapa harus kembali lagi ke penjara dunia, menjadi penyembah berhala. “Ahad … Ahad,” itu saja yang keluar dari lisannya.

Ia terus disiksa, hingga suatu hari Abu Bakar al-Shiddiq lewat di dekatnya. Ia pun membeli Bilal dari Umayyah dan memerdekakannya.

Keteguhan atas kebenaran tentu berbuah mulia, jika tidak sejak di dunia, tentu di akhirat sana. Warna kulit tak merendahkannya, status budak tak menghinakannya. Selama iman kokoh di dalam dada.


Sumber: Shafiyurrahman al-Mubarakfury. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung: Muhammad (al-Rahiq al-Makhtum).

Thursday, March 3, 2016

Ummu Jamil si pembawa kayu bakar

Kita yang di Indonesia sering mendengar istilah “tukang ngomporin” yang disematkan kepada orang yang suka memanas-manaskan situasi atau bahkan mengadu domba orang lain. Istilah yang mirip pernah muncul 14 abad yang lalu di Makkah.

Perkataan itu adalah hammalatal hathab (wanita pembawa kayu bakar). Tapi ini bukan perkataan orang kebanyakan. Ini direkam secara khusus di dalam al-Qur’an (Surat al-Lahab). Dan yang dimaksud dengan pembawa kayu bakar itu adalah seorang wanita bernama Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah. Ia mendapat julukan itu karena kesukaannya mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta menyebarkan dusta dan fitnah tentang beliau.

Siapakah Ummu Jamil sehingga mendapat gelar itu di dalam al-Qur’an? Ia adalah istri Abu Lahab, paman Nabi, yang juga disebut sebagai orang yang celaka di awal surat al-Lahab dalam al-Qur’an, dan keduanya memang tetap dalam keadaan ingkar hingga akhir hayat. Ummu Jamil juga saudara perempuan dari Abu Sufyan binti Harb.

Saat mendengar ayat al-Qur’an yang menyebut tentang dirinya, Ummu Jamil kesal dan langsung mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika itu beliau sedang duduk di dekat Ka’bah bersama sahabatnya Abu Bakar al-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Ummu Jamil melihat Abu Bakar dan segera menghampirinya, di tangannya ada sebuah batu. Tetapi dengan ijin Allah ia tidak bisa melihat Rasulullah yang duduk di sebelah Abu Bakar. “Hai Abu Bakar!” ujar Ummu Jamil, “Mana sahabatmu itu? Aku mendapat berita bahwa dia telah mengejekku. Demi Allah! andai aku menemuinya, niscaya akan aku tampar mulutnya dengan batu yang ada di genggamanku ini. Demi Allah! Sesungguhnya aku adalah seorang penyair!”

Ia kemudian bersyair:

Si tercela (mudzammam) yang kami tentang,
Urusannya yang kami tolak,
Diennya yang kami benci

Setelah itu ia pergi meninggalkan tempat itu.

Abu Bakar kemudian bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Apakah dia tidak dapat melihatmu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Dia tidak dapat melihatku. Sungguh! Allah telah membutakan pandangannya dariku.”

Begitulah urusan orang yang tercela. Ia hanya mampu ‘membawa kayu bakar’ ke sana kemari. Tetapi kayu bakar itu tak mampu membakar risalah yang dibawa sang Nabi. Ia tak mampu membakar selain dirinya sendiri dan sesiapa yang mendengar hasutannya.

Sumber: Shafiyurrahman al-Mubarakfury. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung: Muhammad (al-Rahiq al-Makhtum).


Wednesday, March 2, 2016

Abu Umamah dan pamannya berebut kesempatan berjihad

Berlomba-lombalah dalam kebaikan, demikian pesan al-Qur’an (2: 148). Dalam segala perkara yang membawa pada kebaikan, terutama untuk hidup selepas kematian, berusahalah untuk menjadi yang terdepan. Begitu pula dalam berjuang di jalan Allah.

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat akan berangkat berjihad di Perang Badar, Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bersiap sedia untuk berangkat bersama Rasulullah. Pamannya dari pihak ibu, Abu Burdah bin Niyar radhiallahu ‘anhu memintanya untuk tinggal di rumah menjaga ibunya. Abu Umamah merasa berat jika tak menyertai jihad. “Mengapa bukan paman yang tinggal di sini bersama saudara perempuan paman (ibu Abu Umamah)?” Keduanya sama-sama ingin berangkat jihad, sementara harus ada orang yang menjaga ibu Abu Umamah di rumah.

Hal ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau kemudian memerintahkan agar Abu Umamah yang tinggal di rumah. Abu Umamah tak memiliki pilihan lain. Ia taat kepada arahan Rasulullah. Sementara pamannya ikut menyertai jihad ke Badar.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali ke Madinah dari Perang Badar, ibu Abu Umamah telah meninggal dunia. Rasulullah kemudian mengimami solat jenazah untuk ibu dari pemuda itu.

Keponakan dan paman berlomba-lomba untuk berjihad di jalan Allah, dan salah satu dari keduanya terpaksa mengalah. Bagaimanapun, keduanya tetap mendapat keutamaan. Yang satu mendapat pahala jihad, yang satunya lagi mendapat pahala bakti kepada orang tua.

Mereka yang berlomba di dalam kebaikan, maka tak ada yang menang dan tak ada yang kalah. Semua tetap mendapat kebaikan juga, walaupun dalam bentuk yang berbeda.

Sumber: Maulana Muhammad Yusuf Kandhlawi, Hayatus Sahabah (The Lives of Sahabah).


Tuesday, March 1, 2016

Lunak dalam berbagai hal

“Inikah orang Hasyimi yang menyesatkan kaumnya?” lelaki badui itu bergumam sendiri saat memperhatikan seorang pembeli melakukan tawar menawar dengan seorang pedagang, di sebuah tempat di Madinah. Pembeli itu meminta harga yang bagus untuk dirinya.

Tetapi kemudian datang seorang pria yang lain. “Dia seorang yang sangat tampan wajahnya,” lelaki badui itu menggambarkan apa yang dilihatnya, “dengan dahi yang lebar, hidung yang ramping, alis mata yang indah ….” Dan ia mengucapkan salam saat mendekat, yang dijawab dengan salam pula oleh yang lainnya.

Pembeli itu sekarang meminta pada orang yang baru datang, yang tak lain adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, agar bicara pada si penjual supaya ia menurunkan harga jual barangnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menolak dengan lembut. Beliau merasa tak berhak mengintervensi tawar menawar itu, sehingga ada yang nantinya merasa diperlakukan kurang adil. Tetapi beliau memberi nasihat kepada semua pihak, “Allah menghujani rahmatnya kepada seorang yang lunak (meringankan) dalam menjual, lunak dalam membeli, lunak dalam mengambil, lunak dalam memberi, lunak dalam membayar hutangnya, dan lunak saat meminta pembayaran.” Artinya, seorang yang bersikap baik, meringankan dan tidak memberatkan, menyegerakan dan tidak menahan, menyenangkan dan tidak menimbulkan kesusahan pihak lain.

Rasulullah meninggalkan tempat itu setelah menyampaikan nasihatnya. Lelaki badui itu terkesan. “Demi Allah! saya harus mencari tahu lebih banyak tentang pria ini karena kata-katanya begitu indah.” Ia pun mengejar Rasulullah, bercakap-cakap dengan beliau tentang risalah yang dibawanya, dan ia pun masuk Islam. Bukan hanya itu, ia kemudian juga menyampaikan risalah ini kepada satu masyarakat di sebuah oasis, sehingga mereka semua masuk Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merasa bahagia atas keislaman orang itu serta dakwahnya kepada orang-orang. Tetapi lelaki badui itu juga tak kalah bahagianya. “Sebelum ini, tak ada seorang pun di muka bumi yang lebih saya benci daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, kini dia lebih saya cintai bahkan dibandingkan anak saya sendiri, orang tua saya, dan seluruh manusia.”

Manusia mana yang tak akan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kalau saja mereka betul-betul mengenalnya.


Sumber: Maulana Muhammad Yusuf Kandhlawi, Hayatus Sahabah (The Lives of Sahabah)

Saat dikatakan Umar tak mungkin masuk Islam

Makkah semakin tak ramah terhadap pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejak dakwah Islam disampaikan secara terbuka oleh beliau, banyak yang disiksa dan dianiaya oleh orang-orang musyrik. Sehingga Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (kini Ethiopia) untuk mendapatkan keamanan di sana. 

Layla binti Abi Hathma dan suaminya Amir, masing-masing biasa dipanggil Ummu dan Abu Abdillah, radhiallahu ‘anhuma bersiap-siap untuk berhijrah bersama sejumlah sahabat Nabi lainnya. Amir pergi sebentar untuk mengambil beberapa keperluan, sementara Ummu Abdillah menunggu di kendaraan yang telah disiapkan. 

Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu berlalu di tempat itu. Ia ketika itu belum masuk Islam dan sikapnya biasanya sangat keras terhadap kaum Muslimin. Tapi hari itu sikapnya berbeda.

“Wahai Ummu Abdillah, apakah engkau akan pergi?” ia bertanya ramah pada perempuan itu.

“Ya, tentu,” jawab Ummu Abdillah. “Demi Allah! kami akan pergi ke negeri di antara negeri-negeri Allah karena kalian telah mengganggu kami dan telah berlaku kejam terhadap kami sehingga Allah memberi jalan keluar bagi kami.”

“Semoga Allah menyertai kalian,” ujar Umar lembut, seperti menyesali rencana kepergian mereka. Ia pun meneruskan perjalanannya dan meninggalkan tempat itu.

Ummu Abdillah merasa heran. Umar yang biasanya kasar, hari ini sangat bersahabat. Ketika suaminya datang, ia pun berkata, “Wahai Abu Abdillah, kalau saja kamu melihat Umar barusan tadi. Ia sangat lembut dan menyesali kepergian kita.”

“Kamu berharap dia akan masuk Islam?” tanya suaminya.

“Tentu saja.”

Suaminya sangat meragukan hal itu, karena sikap Umar yang selalu memusuhi Islam selama ini. “Orang yang kamu lihat itu (Umar) tidak akan pernah menerima Islam sampai keledai al-Khattab masuk Islam,” ujarnya. Dengan kata lain, ia menganggap mustahil Umar akan masuk Islam.

Tapi mereka kemudian tahu, begitu pula dengan kita semua, bahwa Umar akhirnya masuk Islam dan menjadi salah satu pembelanya yang terdepan. Tak ada yang tak mungkin jika Allah berkehendak.

Maka jangan pernah putus harapan terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Mereka yang terdepan di dalam dosa, mungkin suatu saat akan menjadi yang terdepan di dalam kemuliaan. Selama belum datang kematian, selama itu pula masih ada harapan, insya Allah.

Sumber: Maulana Muhammad Yusuf Kandhlawi, Hayatus Sahabah (The Lives of Sahabah).

Monday, February 29, 2016

Kaum Anshar menyambut Nabi di Madinah



Jika yang dicinta dan dirindu telah dikabarkan kedatangannya, mereka yang merindu tentu berbunga-bunga hatinya dan tak sabar menantikan hadirnya. Setiap terdengar kabar tentangnya, para perindu akan berdebar jantungnya dan tergopoh menyambutnya. Seperti berdebar dan tergopohnya kaum Anshar di Madinah, saat mendengar kabar bahwa Nabi yang dirindu sudah hampir tiba di kota itu sejak perjalanan hijrahnya dari kota Makkah.

Bahkan seorang anak kecil seperti Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dua kali berlari cepat-cepat keluar rumah saat mendengar seruan bahwa sang Nabi telah datang. Ia terpaksa kembali ke rumah saat mengetahui bahwa Nabi sebenarnya belum tiba. 

Tapi Nabi akhirnya sampai juga, didampingi oleh sahabatnya yang setia, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu. Seorang badui segera mengumumkan kedatangan mereka berdua. Tak kurang dari lima ratus orang Anshar segera keluar menyambut keduanya. “Marilah! Anda berdua dalam keadaan aman dan akan ditaati,” ujar mereka. Mereka pun bersama-sama memasuki kota Madinah. Sementara para gadis berebutan berdiri di atas rumah masing-masing sambil bertanya, “Yang manakah Rasulullah? Yang manakah Rasulullah?”

“Kami tak pernah menyaksikan pemandangan yang seperti ini sebelumnya,” kenang Anas bin Malik.

Cinta dan rindu memang penuh kenangan dan membekas lama di dalam dada. Apalagi jika yang dicinta dan dirindu adalah insan yang begitu indah: Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

Tidakkah kita juga merinduinya?

Sumber: Maulana Muhammad Yusuf Kandhlawi, Hayatus Sahabah (The Lives of Sahabah).