Makkah semakin tak ramah terhadap
pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejak dakwah Islam
disampaikan secara terbuka oleh beliau, banyak yang disiksa dan dianiaya oleh
orang-orang musyrik. Sehingga Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk
berhijrah ke Habasyah (kini Ethiopia) untuk mendapatkan keamanan di sana.
Layla binti Abi Hathma dan
suaminya Amir, masing-masing biasa dipanggil Ummu dan Abu Abdillah, radhiallahu
‘anhuma bersiap-siap untuk berhijrah bersama sejumlah sahabat Nabi lainnya.
Amir pergi sebentar untuk mengambil beberapa keperluan, sementara Ummu Abdillah
menunggu di kendaraan yang telah disiapkan.
Umar bin al-Khattab radhiallahu
‘anhu berlalu di tempat itu. Ia ketika itu belum masuk Islam dan sikapnya
biasanya sangat keras terhadap kaum Muslimin. Tapi hari itu sikapnya berbeda.
“Wahai Ummu Abdillah, apakah
engkau akan pergi?” ia bertanya ramah pada perempuan itu.
“Ya, tentu,” jawab Ummu Abdillah. “Demi Allah! kami akan pergi ke negeri di antara negeri-negeri Allah karena
kalian telah mengganggu kami dan telah berlaku kejam terhadap kami sehingga
Allah memberi jalan keluar bagi kami.”
“Semoga Allah menyertai kalian,” ujar
Umar lembut, seperti menyesali rencana kepergian mereka. Ia pun meneruskan
perjalanannya dan meninggalkan tempat itu.
Ummu Abdillah merasa heran. Umar
yang biasanya kasar, hari ini sangat bersahabat. Ketika suaminya datang, ia pun
berkata, “Wahai Abu Abdillah, kalau saja kamu melihat Umar barusan tadi. Ia
sangat lembut dan menyesali kepergian kita.”
“Kamu berharap dia akan masuk
Islam?” tanya suaminya.
“Tentu saja.”
Suaminya sangat meragukan hal
itu, karena sikap Umar yang selalu memusuhi Islam selama ini. “Orang yang kamu
lihat itu (Umar) tidak akan pernah menerima Islam sampai keledai al-Khattab
masuk Islam,” ujarnya. Dengan kata lain, ia menganggap mustahil Umar akan masuk
Islam.
Tapi mereka kemudian tahu, begitu
pula dengan kita semua, bahwa Umar akhirnya masuk Islam dan menjadi salah satu
pembelanya yang terdepan. Tak ada yang tak mungkin jika Allah berkehendak.
Maka jangan pernah putus harapan terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain. Mereka yang terdepan di dalam dosa,
mungkin suatu saat akan menjadi yang terdepan di dalam kemuliaan. Selama belum
datang kematian, selama itu pula masih ada harapan, insya Allah.
Sumber: Maulana Muhammad Yusuf Kandhlawi, Hayatus Sahabah
(The Lives of Sahabah).
No comments:
Post a Comment