“Inikah orang Hasyimi yang
menyesatkan kaumnya?” lelaki badui itu bergumam sendiri saat memperhatikan
seorang pembeli melakukan tawar menawar dengan seorang pedagang, di sebuah
tempat di Madinah. Pembeli itu meminta harga yang bagus untuk dirinya.
Tetapi kemudian datang seorang
pria yang lain. “Dia seorang yang sangat tampan wajahnya,” lelaki badui itu
menggambarkan apa yang dilihatnya, “dengan dahi yang lebar, hidung yang ramping,
alis mata yang indah ….” Dan ia mengucapkan salam saat mendekat, yang dijawab
dengan salam pula oleh yang lainnya.
Pembeli itu sekarang meminta pada
orang yang baru datang, yang tak lain adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, agar bicara pada si penjual supaya ia menurunkan harga
jual barangnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menolak dengan
lembut. Beliau merasa tak berhak mengintervensi tawar menawar itu, sehingga ada
yang nantinya merasa diperlakukan kurang adil. Tetapi beliau memberi nasihat
kepada semua pihak, “Allah menghujani rahmatnya kepada seorang yang lunak
(meringankan) dalam menjual, lunak dalam membeli, lunak dalam mengambil, lunak
dalam memberi, lunak dalam membayar hutangnya, dan lunak saat meminta
pembayaran.” Artinya, seorang yang bersikap baik, meringankan dan tidak
memberatkan, menyegerakan dan tidak menahan, menyenangkan dan tidak menimbulkan
kesusahan pihak lain.
Rasulullah meninggalkan tempat
itu setelah menyampaikan nasihatnya. Lelaki badui itu terkesan. “Demi Allah!
saya harus mencari tahu lebih banyak tentang pria ini karena kata-katanya
begitu indah.” Ia pun mengejar Rasulullah, bercakap-cakap dengan beliau tentang
risalah yang dibawanya, dan ia pun masuk Islam. Bukan hanya itu, ia kemudian
juga menyampaikan risalah ini kepada satu masyarakat di sebuah oasis, sehingga
mereka semua masuk Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam merasa bahagia atas keislaman orang itu serta dakwahnya kepada
orang-orang. Tetapi lelaki badui itu juga tak kalah bahagianya. “Sebelum ini,
tak ada seorang pun di muka bumi yang lebih saya benci daripada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Namun, kini dia lebih saya cintai bahkan dibandingkan
anak saya sendiri, orang tua saya, dan seluruh manusia.”
Manusia mana yang tak akan
mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kalau saja mereka
betul-betul mengenalnya.
Sumber: Maulana Muhammad Yusuf
Kandhlawi, Hayatus Sahabah (The Lives of Sahabah).
No comments:
Post a Comment