Saturday, April 16, 2016

Pedagang di pasar berhenti berniaga untuk mendirikan solat

Pada masa sekarang ini banyak orang yang sibuk berdagang sehingga mengabaikan solat, sibuk bekerja sampai meninggalkan kewajiban agama. Mereka sibuk dengan dunia, lupa dengan akhirat, akhirnya akhirat lepas dari tangannya, sementara dunianya belum tentu memberikan kebahagiaan.

Keadaannya sungguh berbeda dengan para pedagang di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti yang disaksikan oleh para sahabat Nabi.

Pernah suatu kali Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu mengunjungi pasar. Ketika datang waktu solat dan terdengar azan memanggil, para pedagang menutup kedai-kedai mereka dan berangkat ke masjid untuk menunaikan solat. Ibn Umar pun bergumam, “Inilah orang-orang yang Allah berkata tentang mereka:

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS al-Nur [24]: 37)

Mereka tidak khawatir ada pembeli yang datang saat mereka solat. Mereka tidak merasa tanggung dalam pekerjaannya sehingga memutuskan untuk menunda sujud kepada Tuhannya. Mereka mendahulukan apa yang memang seharusnya didahulukan. Semoga kita pun begitu.


Sumber: Moulana Muhammad Zakariyya, Stories of the  Sahaabah (Hikayatus Sahabah)

Monday, March 21, 2016

Ibn Abbas memilih solat daripada kesehatan matanya

Berobat itu baik dan perlu. Namun ada orang-orang yang memandang taqarrub ilallah (mendekatkan diri pada Allah) sebagai sebaik-baik obat. Ini tidak selalu berkenaan dengan kesehatan fisik, tetapi  lebih berkaitan dengan kesehatan spiritual dan kebahagiaan yang ditimbulkan olehnya.

Seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, mengalami masalah mata yang serius di hari tuanya. Seorang dokter didatangkan kepadanya. “Ini bisa disembuhkan, tetapi Anda perlu menjalani pantangan,” ujar dokter itu, “Anda harus menghindari sujud ke lantai selama lima hari. Tetapi Anda bisa menggunakan sebuah meja kayu untuk melaksanakan solat.”

“Itu tidak mungkin,” ujar Ibn Abbas. “Saya tak akan melakukan satu rakaat pun dengan cara seperti itu. Saya mendengar Nabi bersabda, ‘Seseorang yang dengan sengaja meninggalkan solat, walaupun hanya satu kali saja, akan menghadapi kemurkaan Allah pada Hari Kiamat.’”

Sebenarnya, ini bukan masalah halal atau haram karena Islam memberi keringanan dalam hal-hal tertentu seperti sakit. Ini adalah masalah mencari keutamaan di sisi Allah. Ibn Abbas lebih suka kehilangan penglihatan di akhir hidupnya daripada mengubah cara sujudnya walaupun hanya beberapa hari saja.

Karena, mata yang selama ini telah membolehkannya melihat tidak lebih ia cintai daripada Tuhan yang telah menganugerahkan kepadanya penglihatan itu. Dan apa yang diberi oleh-Nya tidak lebih dicintai daripada apa yang diambil oleh-Nya, selama semua itu berada dalam keridhaan-Nya.


Sumber: Moulana Muhammad Zakariyya, Stories of the  Sahaabah (Hikayatus Sahabah)

Friday, March 18, 2016

Keluhan kaum Anshar dan jawaban Nabi

Kaum Anshar merasa kecewa terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tak kecewa, sudah bertahun-tahun mereka membela Nabi, mengorbankan harta dan nyawa, tapi kini Nabi seperti melupakan mereka. 

Pampasan perang yang banyak dan baru saja didapatkan dari Perang Hunain dibagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang Makkah dan beberapa tokoh kabilah yang baru masuk Islam, demi menarik hati mereka pada Islam. Kaum Anshar tak mendapatkan apa-apa atau hanya mendapatkan sedikit bagian. Sehingga ada di antara mereka yang berkata, “Demi Allah! Rasulullah telah bergabung kembali dengan kaumnya (penduduk Quraisy Makkah, pen).” Atau ada ada pula yang mengatakan, “Kita diseru di waktu susah, tetapi pampasan perang diberikan pada orang lain.”

Mereka salah paham terhadap maksud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Ucapan mereka ini sampai ke telinga Nabi. Maka Nabi pun meminta orang-orang Anshar berkumpul. Ketika mereka semua sudah berhimpun di satu tempat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai saudaraku kaum Anshar! Ketika saya datang kepada kalian, bukankah kalian dalam keadaan sesat, dan kemudian Allah memberi petunjuk pada kalian? Bukankah kalian dalam keadaan miskin dan kemudian Allah menjadikan kalian kaya? Bukankah kalian bermusuh-musuhan dan kemudian Allah menyatukan hati-hati kalian?”

“Benar,” jawab orang-orang Anshar.

“Wahai kaum Anshar! Mengapa kalian tidak menjawab?” tanya Rasulullah.

“Apa yang dapat kami katakan, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Jawaban apa yang harus kami berikan? Hanya Allah dan Rasul-Nya yang memiliki karunia dan keutamaan.”

“Demi Allah!” kata Rasulullah, “Kalian menyatakan kebenaran dan kalian akan dipercaya jika kalian berkata pada saya, ‘Anda datang sebagai orang yang terusir dan kami memberi Anda tempat tinggal. Anda datang sebagai orang miskin dan kami memberi Anda bantuan keuangan. Anda datang dalam keadaan takut dan kami memberi Anda keamanan. Anda datang tanpa penolong dan kami memberi Anda bantuan yang diperlukan.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian melanjutkan, “Wahai kaum Anshar! Apakah kalian merasa sedih disebabkan beberapa sampah duniawi yang saya berikan kepada beberapa orang yang baru masuk Islam demi menarik hati mereka, sementara saya meninggalkan untuk kalian kelimpahan Islam yang telah Allah anugerahkan untuk kalian? Wahai kaum Anshar! Apakah kalian tidak merasa puas mengetahui orang lain kembali ke rumahnya dengan membawa kambing dan unta, sementara kalian pulang dengan membawa Rasulullah? Saya bersumpah dengan Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika orang-orang berjalan di satu lembah dan orang-orang Anshar berjalan di lembah yang lainnya, maka saya akan berjalan di lembah yang dilalui orang-orang Anshar. Kalau sekiranya bukan disebabkan hijrah, saya akan menjadi bagian dari orang-orang Anshar. Ya Allah! Limpahkanlah rahmat-Mu ke atas orang-orang Anshar, ke atas anak-anak Anshar, ke atas cucu-cucu kaum Anshar.”

Orang-orang Anshar menangis mendengar kata-kata Rasulullah itu. Bagaimana mereka tak akan menangis, sementara orang yang membaca kisahnya hari ini pun menangis. Orang-orang Anshar menangis hingga janggut mereka basah oleh air mata. “Kami ridha Allah sebagai Rabb kami dan kami ridha dengan pembagian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Begitu pula kami ridha Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai Nabi, dan Islam sebagai agama kami.


Sumber: Maulana Muhammad Yusuf Kandhlawi, Hayatus Sahabah (The Lives of Sahabah).

Monday, March 14, 2016

Kisah Dimad masuk Islam

Tutur kata bisa menghunjam ke dalam jiwa, menyebabkan perubahan pada manusia. Terlebih jika itu keluar dari perkataan ilahiah serta lisan kenabian.

Seperti yang pernah terjadi pada Dimad, seorang dukun dari Bani Azd Syanu’a yang biasa mengobati orang yang kena sihir dengan bantuan jin. Pada suatu hari ia datang ke kota Makkah dan ia mendengar dari orang-orang bodoh di kota itu bahwa Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah gila.

Ia pun berhasrat untuk menemui lelaki yang dikatakan gila itu, atau mungkin telah terkena sihir. Ia ingin menawarkan bantuan untuk menyembuhkannya. Saat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia pun berkata kepadanya, “Saya biasa menyembuhkan orang yang terkena sihir dan Allah akan menyembuhkan siapa yang Dia kehendaki melalui tangan saya, marilah ke sini (untuk saya sembuhkan).”

Rasulullah pun bersabda kepadanya, “Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, dan kami minta pertolongan kepada-Nya, barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tiada sesiapa yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tiada sesiapa yang dapat memberinya petunjuk, saya bersaksi bahwa tidak ada yang boleh disembah melainkan Allah, Yang Esa, dan tiada sekutu baginya (Innal hamda lillah nahmaduhu wa nasta’inuhu, man yahdihillah fala mudhillalah, wa man yudhlil fala hadiyalah, asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarikalah – beliau mengucapkannya tiga kali).”

Dimad tertegun. “Demi Allah! Saya telah mendengar perkataan tukang tenung, perkataan tukang sihir, dan perkataan para penyair, tetapi saya belum pernah mendengar kalimat semisal yang saya dengar ini. Kemarikanlah tangan Anda untuk saya baiat atas Islam.”

Maka ia pun berbaiat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan masuk Islam. Kemudian Rasulullah bersabda, “Dan atas kaum kamu juga?”

“Dan atas kaum saya juga,” jawab Dimad.

Perkataan mana lagi yang lebih baik daripada yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Sumbernya tinggi, lafaznya padat dan mengena di hati, kandungannya tak perlu diragukan lagi. Tapi tak akan mendapatkan manfaat darinya, kecuali sesiapa yang mau membuka pikiran dan jiwa untuk Tuhannya.

Sumber: Imam Bayhaqi, Dala’il al-Nubuwah, jil 2. Kisah ini terdapat juga dalam Sahih Muslim dengan redaksi yang sedikit berbeda.

Friday, March 11, 2016

Penduduk Yaman datang membantu Abu Bakar al-Shiddiq

Selepas terjadinya perang Riddah di Yaman, Abu Bakar al-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, Khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyiapkan pasukan untuk diberangkatkan ke Syam (Suriah-Palestina) untuk menghadapi tentara Romawi (Byzantium).

Abu Bakar mengutus Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ke Yaman untuk mengajak mereka menyertai ekspedisi ini. Anas kembali ke Madinah beberapa waktu kemudian, membawa kabar gembira tentang kesiapan orang-orang Yaman untuk menyertai pasukan. “Siapa saja yang saya bacakan seruan, langsung mentaati Allah dan menerima seruan Anda itu,” ujar Anas.

Tak lama setelah itu, pasukan dari Yaman datang dalam beberapa kelompok yang besar. Abu Bakar dan penduduk Madinah menyambut mereka di luar kota Madinah. Satu persatu kepala kabilah dari Yaman maju ke hadapan memberi penghormatan kepada Khalifah dan menyatakan kesiapan untuk berangkat ke Syam. Salah satu yang maju ke depan adalah Dzul Kala’, pemimpin Bani Himyar. Ia membaca sebuah syair yang antara lain berbunyi:

Tentara kami telah datang dan Imperium Romawi dalam penglihatan kami
Suriah akan menjadi rumah bagi kekuatan kami

Abu Bakar tersenyum mendengarnya, kemudian berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang ada di sebelahnya, “Wahai Abul Hasan, tidakkah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Saat Bani Himyar datang dengan kaum perempuan mereka dan membawa anak-anak mereka, maka bergembiralah dengan pertolongan Allah bagi kaum Muslimin terhadap kaum musyrikin.’”

Ali pun berkata, “Engkau berkata benar. Saya memang mendengar Rasulullah berkata demikian.”

Begitulah, Yaman yang beberapa waktu sebelumnya melahirkan nabi-nabi palsu dan menentang Madinah, kemudian mengirimkan putera-putera terbaiknya ke Madinah untuk berangkat dan berjuang di Syam. Syam yang pada hari itu diperangi, kelak penduduknya juga akan berbondong-bondong masuk Islam dan melahirkan banyak ulama hebat.

Akhirnya, sungguh indah doa yang dilantunkan oleh Rasulullah dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di dalam kumpulan haditsnya: “Ya Allah! Berkahilah kami pada Syam kami. Ya Allah! Berkahilah kami pada Yaman kami.”

Kadang hanya masalah waktu yang memisahkan antara suatu negeri dengan kecintaan Nabinya serta keberkahan dari Tuhannya.


Sumber: Al-Waqidi, The Islamic Conquest of Syria (Futuh al-Shams)

Wednesday, March 9, 2016

Salam untuk Khadijah

Istri yang solehah adalah perhiasan dunia untuk seorang suami. Ini bukan soal kecantikan dan kemolekan. Ini tentang keluhuran jiwa dan keindahan budi bahasa. Seorang istri yang baik senantiasa menghibur suaminya di saat duka, mengajaknya bersyukur di saat suka, mendukungnya di saat ia memerlukan pertolongan.

Itu semua ada pada Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha, bahkan lebih lagi. Keturunannya mulia, budi pakertinya tiada dua, dan seorang saudagar pula. Tapi yang lebih dari itu semua, dialah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang pertama, yang memberinya keturunan, ummul mukminin yang mula-mula, serta orang pertama yang beriman pada kerasulannya. Ia membenarkan Nabi ketika banyak orang mendustakannya, menghibur saat orang lain menyakitinya, membela saat orang-orang menghalangi jalannya. Itulah cinta yang setinggi-tingginya, bukan semata terhadap suaminya, tetapi terhadap kebenaran risalah yang dibawanya.

Maka siapa yang tak akan sayang kepada Ummul Qasim. Bahkan Tuhan dan malaikat pun berkirim salam kepadanya. Ini memang sebuah salam yang istimewa untuk seorang perempuan yang istimewa.

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, seperti tercantum di dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Pada suatu ketika Jibril datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, Khadijah sedang berjalan kemari. Ia membawa wadah yang berisi kuah, makanan, atau minuman. Jika ia sampai kepadamu, maka katakanlah bahwa Tuhannya dan aku menyampaikan salam kepadanya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepadanya bahwa ia akan mendapatkan sebuah rumah di dalam surga yang terbuat dari mutiara yang tidak berisik dan tidak melelahkan.”

Masya Allah. Kita akan melonjak gembira saat mendapatkan ucapan salam dari orang yang mulia dan berkedudukan tinggi, bagaimana lagi jika hal itu datang dari Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi?
Semoga di hati kita bersemayam cinta seperti cinta Khadijah. Cinta yang membawa pada kemurnian dan keabadian. Cinta yang membawa kepada Tuhan.


Sumber: Mahmud al-Mishri, 35 Sirah Shahabiyah: 35 Sahabat Wanita Rasulullah saw, jil.1 

Monday, March 7, 2016

Ahad

Tidak ada yang bisa menahan kemerdekaan jiwa manusia ketika dia beriman, walaupun fisiknya tertawan dan statusnya hanya seorang budak. Begitulah yang berlaku pada Bilal bin Rabah, seorang budak Ethiopia milik pembesar musyrik Quraisy bernama Umayyah bin Khalaf al-Jumahy. Dakwah Islam sampai kepadanya dan ia menerimanya secara rahasia. Hingga suatu hari keislamannya diketahui sang majikan.

Umayyah, yang tetap dalam kekafiran hingga kematiannya di Perang Badar beberapa tahun kemudian, tak bisa menerima pilihan budaknya itu. Ia memaksa Bilal untuk kembali ke agama lamanya dan menyiksanya ketika pria berkulit hitam dan bersuara merdu itu menolaknya. Bilal pun mengalami beberapa bentuk siksaan yang menyakitkan.

Lehernya diikat dengan tali, dan atas perintah majikannya itu ia ditarik serta dijadikan mainan oleh anak-anak kecil di lorong-lorong Makkah. Pemuda yang kelak menjadi muadzin Rasulullah itu dibiarkan kelaparan dan didudukkan di tengah terik matahari. Yang terberat dari semua itu, ia dibaringkan di atas tanah Makkah yang panas di siang hari yang terik, kemudian dadanya ditindih dengan batu besar.

“Demi Allah,” ujar Umayyah, majikannya, “engkau akan tetap mengalami keadaan seperti ini sampai mati atau engkau berpaling dari Muhammad dan menyembah Lata dan Uzza.”

Bilal tak terpengaruh. Tubuhnya memang tak berdaya, tetapi jiwanya sudah merdeka. Maka mengapa harus kembali lagi ke penjara dunia, menjadi penyembah berhala. “Ahad … Ahad,” itu saja yang keluar dari lisannya.

Ia terus disiksa, hingga suatu hari Abu Bakar al-Shiddiq lewat di dekatnya. Ia pun membeli Bilal dari Umayyah dan memerdekakannya.

Keteguhan atas kebenaran tentu berbuah mulia, jika tidak sejak di dunia, tentu di akhirat sana. Warna kulit tak merendahkannya, status budak tak menghinakannya. Selama iman kokoh di dalam dada.


Sumber: Shafiyurrahman al-Mubarakfury. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung: Muhammad (al-Rahiq al-Makhtum).