Tidak ada yang bisa menahan
kemerdekaan jiwa manusia ketika dia beriman, walaupun fisiknya tertawan dan
statusnya hanya seorang budak. Begitulah yang berlaku pada Bilal bin Rabah,
seorang budak Ethiopia milik pembesar musyrik Quraisy bernama Umayyah bin
Khalaf al-Jumahy. Dakwah Islam sampai kepadanya dan ia menerimanya secara
rahasia. Hingga suatu hari keislamannya diketahui sang majikan.
Umayyah, yang tetap dalam
kekafiran hingga kematiannya di Perang Badar beberapa tahun kemudian, tak bisa
menerima pilihan budaknya itu. Ia memaksa Bilal untuk kembali ke agama lamanya
dan menyiksanya ketika pria berkulit hitam dan bersuara merdu itu menolaknya.
Bilal pun mengalami beberapa bentuk siksaan yang menyakitkan.
Lehernya diikat dengan tali, dan
atas perintah majikannya itu ia ditarik serta dijadikan mainan oleh anak-anak
kecil di lorong-lorong Makkah. Pemuda yang kelak menjadi muadzin Rasulullah itu
dibiarkan kelaparan dan didudukkan di tengah terik matahari. Yang terberat dari
semua itu, ia dibaringkan di atas tanah Makkah yang panas di siang hari yang
terik, kemudian dadanya ditindih dengan batu besar.
“Demi Allah,” ujar Umayyah,
majikannya, “engkau akan tetap mengalami keadaan seperti ini sampai mati atau
engkau berpaling dari Muhammad dan menyembah Lata dan Uzza.”
Bilal tak terpengaruh. Tubuhnya
memang tak berdaya, tetapi jiwanya sudah merdeka. Maka mengapa harus kembali
lagi ke penjara dunia, menjadi penyembah berhala. “Ahad … Ahad,” itu saja yang
keluar dari lisannya.
Ia terus disiksa, hingga suatu
hari Abu Bakar al-Shiddiq lewat di dekatnya. Ia pun membeli Bilal dari Umayyah
dan memerdekakannya.
Keteguhan atas kebenaran tentu
berbuah mulia, jika tidak sejak di dunia, tentu di akhirat sana. Warna kulit
tak merendahkannya, status budak tak menghinakannya. Selama iman kokoh di dalam
dada.
Sumber: Shafiyurrahman
al-Mubarakfury. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung: Muhammad (al-Rahiq
al-Makhtum).
No comments:
Post a Comment