Monday, March 7, 2016

Ahad

Tidak ada yang bisa menahan kemerdekaan jiwa manusia ketika dia beriman, walaupun fisiknya tertawan dan statusnya hanya seorang budak. Begitulah yang berlaku pada Bilal bin Rabah, seorang budak Ethiopia milik pembesar musyrik Quraisy bernama Umayyah bin Khalaf al-Jumahy. Dakwah Islam sampai kepadanya dan ia menerimanya secara rahasia. Hingga suatu hari keislamannya diketahui sang majikan.

Umayyah, yang tetap dalam kekafiran hingga kematiannya di Perang Badar beberapa tahun kemudian, tak bisa menerima pilihan budaknya itu. Ia memaksa Bilal untuk kembali ke agama lamanya dan menyiksanya ketika pria berkulit hitam dan bersuara merdu itu menolaknya. Bilal pun mengalami beberapa bentuk siksaan yang menyakitkan.

Lehernya diikat dengan tali, dan atas perintah majikannya itu ia ditarik serta dijadikan mainan oleh anak-anak kecil di lorong-lorong Makkah. Pemuda yang kelak menjadi muadzin Rasulullah itu dibiarkan kelaparan dan didudukkan di tengah terik matahari. Yang terberat dari semua itu, ia dibaringkan di atas tanah Makkah yang panas di siang hari yang terik, kemudian dadanya ditindih dengan batu besar.

“Demi Allah,” ujar Umayyah, majikannya, “engkau akan tetap mengalami keadaan seperti ini sampai mati atau engkau berpaling dari Muhammad dan menyembah Lata dan Uzza.”

Bilal tak terpengaruh. Tubuhnya memang tak berdaya, tetapi jiwanya sudah merdeka. Maka mengapa harus kembali lagi ke penjara dunia, menjadi penyembah berhala. “Ahad … Ahad,” itu saja yang keluar dari lisannya.

Ia terus disiksa, hingga suatu hari Abu Bakar al-Shiddiq lewat di dekatnya. Ia pun membeli Bilal dari Umayyah dan memerdekakannya.

Keteguhan atas kebenaran tentu berbuah mulia, jika tidak sejak di dunia, tentu di akhirat sana. Warna kulit tak merendahkannya, status budak tak menghinakannya. Selama iman kokoh di dalam dada.


Sumber: Shafiyurrahman al-Mubarakfury. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung: Muhammad (al-Rahiq al-Makhtum).

No comments:

Post a Comment